KEMISKINAN
Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan (poverty line) merupakan dua masalah besar di banyak negara-negara berkembang (LDCs), tidak terkecuali di Indonesia.
Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
· Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
· Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
· Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.
JENIS-JENIS KEMISKINAN DAN DEFINISINYA
Besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan. Konsep yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut
Kemiskinan relatif adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya dapat didefinisikan didalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud.
Kemiskinan absolut adalah derajat kemiskinan dibawah, dimana kebutuhan-kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi.
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEMISKINAN
Tidak sulit mencari faktor-faktor penyebab kemiskinan, tetapi dari faktor-faktor tersebut sangat sulit memastikan mana yang merupakan penyebab sebenarnya serta mana yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap perubahan kemiskinan
· Tingkat dan laju pertumbuhan output
· Tingkat upah neto
· Distribusi pendapatan
· Kesempatan kerja
· Tingkat inflasi
· Pajak dan subsidi
· Investasi
· Alokasi serta kualitas SDA
· Ketersediaan fasilitas umum
· Penggunaan teknologi
· Tingkat dan jenis pendidikan
· Kondisi fisik dan alam
· Politik
· Bencana alam
· Peperangan
KEBIJAKAN ANTIKEMISKINAN
Untuk menghilangkan atau mengurangi kemiskinan di tanah air diperlukan suatu strategi dan bentuk intervensi yang tepat, dalam arti cost effectiveness-nya tinggi.
Ada tiga pilar utama strategi pengurangan kemiskinan, yakni :
· pertumuhan ekonomi yang berkelanjutan dan yang prokemiskinan
· Pemerintahan yang baik (good governance)
· Pembangunan sosial
Untuk mendukung strategi tersebut diperlukan intervensi-intervensi pemerintah yang sesuai dengan sasaran atau tujuan yang bila di bagi menurut waktu yaitu :
· Intervensi jangka pendek, terutama pembangunan sektor pertanian dan ekonomi pedesaan
Intervensi jangka pendek, berupa :
- Pembangunan sektor pertanian, usaha kecil, dan ekonomi pedesaan
- Manajemen lingkungan dan SDA
- Pembangunan transportasi, komunikasi, energi dan keuangan
- Peningkatan keikutsertaan masyarakat sepenuhnya dalam pembangunan
- Peningkatan proteksi sosial (termasuk pembangunan sistem jaminan sosial)
· Intervensi jangka menengah dan panjang
Intervensi jangka menengah dan panjang, berupa :
- Pembangunan/penguatan sektor usaha
- Kerjsama regional
- Manajemen pengeluaran pemerintah (APBN) dan administrasi
- Desentralisasi
- Pendidikan dan kesehatan
- Penyediaan air bersih dan pembangunan perkotaan
- Pembagian tanah pertanian yang merata
· Pembangunan sektor swasta
· Kerjasama regional
· APBN dan administrasi
· Desentralisasi
· Pendidikan dan Kesehatan
· Penyediaan air bersih dan Pembangunan perkotaan
Mengukur kemiskinan
Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori , yaitu Kemiskinan absolut dan Kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard yang konsisten , tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa).
Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dg pendapatan dibawah USD $1/hari dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2 per hari, dg batasan ini maka diperkiraan pada 2001 1,1 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $1/hari dan 2,7 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $2/hari." Proporsi penduduk negara berkembang yang hidup dalam Kemiskinan ekstrem telah turun dari 28% pada 1990 menjadi 21% pada 2001. Melihat pada periode 1981-2001, persentase dari penduduk dunia yang hidup dibawah garis kemiskinan $1 dolar/hari telah berkurang separuh. Tetapi , nilai dari $1 juga mengalami penurunan dalam kurun waktu tersebut.
Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang, ada bukti tentang kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota dan ghetto yang miskin. Kemiskinan dapat dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat miskin, atau kelompok orang-orang miskin, dan dalam pengertian ini keseluruhan negara kadang-kadang dianggap miskin. Untuk menghindari stigma ini, negara-negara ini biasanya disebut sebagai negara berkembang.
Diskusi tentang kemiskinan
Kemiskinan dipelajari oleh banyak ilmu, seperti ilmu sosial, ekonomi, dan budaya.
Dalam ekonomi, dua jenis kemiskinan dipertimbangkan: kemiskinan absolut dan relatif.
Dalam politik, perlawanan terhadap kemiskinan biasanya dianggap sebagai tujuan sosial dan banyak pemerintahan telah berupaya mendirikan institusi atau departemen. Pekerjaan yang dilakukan oleh badan-badan ini kebanyakan terbatas hanya dalam sensus dan pengidentifikasian tingkat pendapatan di bawah di mana warga negara dianggap miskin. Penanggulangan aktif termasuk rencana perumahan, pensiun sosial, kesempatan kerja khusus, dll. Beberapa ideologi seperti Marxisme menyatakan bahwa para ekonomis dan politisi bekerja aktif untuk menciptakan kemiskinan. Teori lainnya menganggap kemiskinan sebagai tanda sistem ekonomi yang gagal dan salah satu penyebab utama kejahatan.
Dalam hukum, telah ada gerakan yang mencari pendirian "hak manusia" universal yang bertujuan untuk menghilangkan kemiskinan.
Dalam pendidikan, kemiskinan mempengaruhi kemampuan murid untuk belajar secara efektif dalam sebuah lingkungan belajar. Terutama murid yang lebih kecil yang berasal dari keluarga miskin, kebutuhan dasar mereka seperti yang dijelaskan oleh Abraham Maslow dalam hirarki kebutuhan Maslow; kebutuhan akan keamanan dan rumah yang stabil, pakaian, dan jadwal makan yang teratur membayangi kemampuan murid-murid ini untuk belajar. Lebih jauh lagi, dalam lingkungan pendidikan ada istilah untuk menggambarkan fenomen "yang kaya akan tambah kaya dan yang miskin bertambah miskin" (karena berhubungan dengan pendidikan, tetapi beralih ke kemiskinan pada umumnya) yaitu efek Matthew.
Perdebatan yang berhubungan dalam keadaan capital manusia dan capital individual seseorang cenderung untuk memfokuskan kepada akses capital instructional dan capital social yang tersedia hanya bagi mereka yang terdidik dalam sistem formal.
Kemiskinan dunia
Deklarasi Copenhagen menjelaskan kemiskinan absolut sebagai "sebuah kondisi yang dicirikan dengan kekurangan parah kebutuhan dasar manusia, termasuk makanan, air minum yang aman, fasilitas sanitasi, kesehatan, rumah, pendidikan, dan informasi."
Bank Dunia menggambarkan "sangat miskin" sebagai orang yang hidup dengan pendapatan kurang dari AS$1 per hari, dan "miskin" dengan pendapatan kurang dari AS$ 2 per hari. Berdasarkan standar tersebut, 21% dari penduduk dunia berada dalam keadaan "sangat miskin", dan lebih dari setengah penduduk dunia masih disebut "miskin", pada 2001.
Proyek Borgen menunjuk pemimpin Amerika memberikan AS$230 milyar per tahun kepada kontraktor militer, dan hanya AS$19 milyar yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan Perkembangan Milenium PBB untuk mengakhiri kemiskinan parah sebelum 2025.
Penyebab kemiskinan
Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:
· penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin;
· penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga;
· penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar;
· penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi;
· penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun di Amerika Serikat (negara terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin; yaitu, orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati atas garis kemiskinan.
BEBERAPA INDIKATOR KESENJANGAN DAN KEMISKINAN
Indikator Kesenjangan
Ada sejumlah cara untuk mrngukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dibagi ke dalam dua kelompok pendekatan, yakni axiomatic dan stochastic dominance. Yang sering digunakan dalam literatur adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga alat ukur, yaitu the generalized entropy (GE), ukuran atkinson, dan koefisien gini.
Yang paling sering dipakai adalah koefisien gini. Nilai koefisien gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0 : kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan) dan bila 1 : ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan.
Ide dasar dari perhitungan koefisien gini berasal dari kurva lorenz. Semakin tinggi nilai rasio gini, yakni mendekati 1 atau semakin jauh kurva lorenz dari garis 45 derajat tersebut, semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan.
Ketimpangan dikatakan sangat tinggi apabilai nilai koefisien gini berkisar antara 0,71-1,0. Ketimpangan tinggi dengan nilai koefisien gini 0,5-0,7. Ketimpangan sedang dengan nilai gini antara 0,36-0,49, dan ketimpangan dikatakan rendah dengan koefisien gini antara 0,2-0,35.
Selain alat ukur diatas, cara pengukuran lainnya yang juga umum digunakan, terutama oleh Bank Dunia adalah dengan cara jumlah penduduk dikelompokkan menjadi tiga group : 40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan menengah, dan 20% penduduk dengan pendapatan tinggi dari jumlah penduduk. Selanjutnya, ketidakmerataan pendapatan diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah. Menurut kriteria Bank Dunia, tingkat ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan dinyatakan tinggi, apabila 40% penduduk dari kelompok berpendapatan rendah menerima lebih kecil dari 12% dari jumlah pendapatan. Tingkat ketidakmerataan sedang, apabila kelompok tersebut menerima 12% sampai 17% dari jumlah pendapatan. Sedangkan ketidakmerataan rendah, apabila kelompok tersebut menerima lebih besar dari 17% dari jumlah pendapatan.
Indikator Kemiskinan
Batas garis kemiskinan yang digunakan setiap negara ternyata berbeda-beda. Ini disebabkan karena adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan (BPS, 1994). Untuk kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari. Sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa.
Dengan kata lain, BPS menggunakan 2 macam pendekatan, yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dan pendekatan Head Count Index. Pendekatan yang pertama merupakan pendekatan yang sering digunakan. Dalam metode BPS, kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sedangkan Head Count Index merupakan ukuran yang menggunakan kemiskinan absolut. Jumlah penduduk miskin adalah jumlah penduduk yang berada di bawah batas yang disebut garis kemiskinan, yang merupakan nilai rupiah dari kebutuhan minimum makanan dan non makanan. Dengan demikian, garis kemiskinan terdiri dari 2 komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (food line) dan garis kemiskinan non makanan (non food line).
Untuk mengukur kemiskinan terdapat 3 indikator yang diperkenalkan oleh Foster dkk (1984) yang sering digunakan dalam banyak studi empiris. Pertama, the incidence of proverty : presentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi perkapita dibawah garis kemiskinan, indeksnya sering disebut rasio H. Kedua, the dept of proverty yang menggambarkan dalamnya kemiskinan disuatu wilayah yang diukur dengan indeks jarak kemiskinan (IJK), atau dikenal dengan sebutan proverty gap index. Indeks ini mengestimasi jarak/perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis tersebut yang dapat dijelaskan dengan formula sebagai berikut :
Indeks Pa ini sensitif terhadap distribusi jika a >1. Bagian [(z - yi) / z] adalah perbedaan antara garis kemiskinan (z) dan tingkat pendapatan dari kelompok keluarga miskin (yi) dalam bentuk suatu presentase dari garis kemiskinan. Sedangkan bagian [(z - yi) / z]a adalah presentase eksponen dari besarnya pendapatan yang tekor, dan kalau dijumlahkan dari semua orang miskin dan dibagi dengan jumlah populasi (n) maka menghasilkan indeks Pa.
Ketiga, the severity of property yang diukur dengan indeks keparahan kemiskinan (IKK). Indeks ini pada prinsipnya sama seperti IJK. Namun, selain mengukur jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan, IKK juga mengukur ketimpangan di antara penduduk miskin atau penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Indeks ini yang juga disebut Distributionally Sensitive Index dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan.
Studi-studi mengenai distribusi pendapatan di Indonesia pada umumnya menggunakan data BPS mengenai pengeluaran konsumsi rumah tangga dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Data pengeluaran konsumsi dipakai sebagai suatu pendekatan (proksi) untuk mengukur distrubusi pendapatan masyarakat. Walaupun diakui bahwa cara ini sebenarnya mempunyai suatu kelemahan yang serius, data pengeluaran konsumsi bisa memberikan informasi yang tidak tepat mengenai pendapatan, atau tidak mencerminkan tingkat pendapatan yang sebenarnya.
Akan tetapi, karena pengumpulan data pendapatan di Indonesia seperti di banyak LCDs lainnya masih relatif sulit, salah satunya karena banyak rumah tangga atau individu yang bekerja di sektor informal atau tidak menentu, maka penggunaan data pengeluaran konsumsi rumah tangga dianggap sebagai salah satu alternatif.
Menjelang pertengahan tahun 1997, beberapa saat sebelum krisis ekonomi muncul, ingkat pendapatan per kepala di Indonesia sedah melebihi 1000 dolas AS, dan tingkat ini jauh lebih tinggi. Namun, apa artinya kalau hanya 10% saja dari jumlah penduduk di tanah air yang menikmati 90% dari jumlah PN. Sedangkan, sisanya 80% hanya menikmati 10% dari PN. Atau kenaikan PN selama masa itu hanya dinikmati oleh kelompok 10% tersebut, sedangkan pendapatan dari kelompok masyarakat yang mewakili 90% dari jumlah penduduk tidak mengalami perbaikan yang berarti.
Boleh dikatakan bahwa baru sejak akhir 1970-an, Pemerintah Indonesia mulai memperlihatkan kesungguhan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejak itu aspek pemerataan dalam trilogi pembangunan semakin ditekankan dan ini didentifikasikan dalam delapan jalur pemerataan. Sudah banyak program-program dari pemerintah pusat hingga saat ini yang mencerminkan upaya tersebut, seperti program serta kebijkan yang mendukung pembangunan industri kecil, rumah tangga dan koperasi, Program Keluarga Sejahtera, Program KB, UMR, UMP, dan lain sebagainya.
Berikut adalah nilai rasio gini Indonesia menurut daerah perkotaan dan pedesaan mulai tahun 1990-1999.
Tahun
|
Perkotaan
|
Pedesaan
|
Nasional
|
1990
|
0,34
|
0,25
|
0,32
|
1993
|
0,33
|
0,26
|
0.34
|
1994
|
0,35
|
0,26
|
0,34
|
1995
|
0,35
|
0,27
|
0,35
|
1996
|
0,35
|
0,27
|
0,36
|
1997
|
0,35
|
0,26
|
0,37
|
1998
|
0,33
|
0,26
|
0,32
|
1999
|
0,34
|
0,26
|
0,33
|
Yang menarik dari data susenas tersebut adalah bahwa ternyata krisis ekonomi tidak membuat ketimpangan dalam distribusi pendapatan menjadi tambah parah, bahkan kelihatannya cenderung menurun. Dan angka Indeks Gini di pedesaan selalu lebih rendah dari pada di perkotaan.
kemiskinan merupakan salah satu masalah besar. Terutama meliahat kenyataan bahwa laju pengurangan jumlah orang miskin di tanah air berdasarkan garis kemiskinan yang berlaku jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu sejak Pelita I hingga 1997 (sebelum krisis eknomi). Berdasarkan fakta ini selalu muncul pertanyaan, apakah memang laju pertymbuhan yang tingii dapat mengurangi tingkat kemiskinan atau apakahmemang terdapat suatu korelasi negatif yang signifikan antara tingkat pertumbuhan dan presentase jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan?.
Kalau dilihat data dari Asia dalam sstudinya Dealolikar dkk. (2002), kelihatannya memang ada perbedaan dalam presentase perubahan kemiskinan antara kelompok negara dengan leju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kelompoknegara dengan pertumbuhan yang rendah. Seperti China selama tahun 1994-1996 pertumbuhan PDB riil rata-rata per tahun 10,5%, tingkat penurunan kemiskinan per kapita selama periode tersebut sekitar 15,5%, yakni dari 8,4% ke 6,0% dari jumlah populasinya. Sedangkan, misalnya Bangladesh dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun hanya 3,1% selama 1992-1996, tingkat penurunan kemiskinannya per kapita hanya 2,5%. Ada sejumlah negara, termasuk Indonesia, yang jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan bertambah walaupun ekonominya tumbuh positif.[5]
Seperti telah dibahas sebelumnya, banyak studi empiris yang memang membuktikan adanya suatu relasi trade off yang kuat antara laju pertumbuhan pendapatan dan tingkat kemiskinan, namun hubungan negatif tersebut tidak sistematis. Namun, dari beberapa studi empiris yang pernah dilakukan, pendekatan yang digunakan berbeda-beda dan batas kemiskinan yang dipakai beragam pula, sehingga hasil atau gambaran mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan juga berbeda.
KEBIJAKAN ANTI KEMISKINAN
Kebijakan anti kemiskinan dan distribusi pendapatan mulai muncul sebagai salah satu kebijakan yang sangat penting dari lembaga-lembaga dunia, seperti Bank Dunia, ADB,ILO, UNDP, dan lain sebagainya.
Tahun 1990, Bank Dunia lewat laporannya World Developent Report on Proverty mendeklarasikan bahwa suatu peperangan yang berhasil melawan kemiskinan perlu dilakukan secara serentak pada tiga front :
(i) pertumbuhan ekonomi yang luas dan padat karya yang menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi kelompok miskin,
(ii) pengembangan SDM (pendidikan, kesehatan, dan gizi), yang memberi mereka kemampuan yang lebih baik untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi,
(iii) membuat suatu jaringan pengaman sosial untuk mereka yang diantara penduduk miskin yang sama sekali tidak mamu untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan dari pertumbuhan ekonomi dan perkembangan SDM akibat ketidakmampuan fisik dan mental, bencana alam, konflik sosial, dan terisolasi secara fisik.
Untuk mendukung strategi yang tepat dalam memerangi kemiskinan diperlukan intervensi-intervensi pemerintah yang sesuai dengan sasaran atau tujuan perantaranya dapat dibagi menurut waktu, yaitu :
· Intervensi jangka pendek, berupa :
· Pembangunan sektor pertanian, usaha kecil, dan ekonomi pedesaan
· Manajemen lingkungan dan SDA
· Pembangunan transportasi, komunikasi, energi dan keuangan
· Peningkatan keikutsertaan masyarakat sepenuhnya dalam pembangunan
· Peningkatan proteksi sosial (termasuk pembangunan sistem jaminan sosial)
· Intervensi jangka menengah dan panjang, berupa :
· Pembangunan/penguatan sektor usaha
· Kerjsama regional
· Manajemen pengeluaran pemerintah (APBN) dan administrasi
· Desentralisasi
· Pendidikan dan kesehatan
· Penyediaan air bersih dan pembangunan perkotaan
· Pembagian tanah pertanian yang merata
Contoh berita kemiskinan dan kesenjangan pendapatan:
Rabu, 16 Maret 2011
Tingkat Kesejahteraan
JAKARTA – Kesenjangan pen dapatan penduduk Indonesia masih tinggi, meskipun rata-rata pendapatan per kapita penduduk Indonesia pada akhir 2010 sudah di atas 3.000 dollar AS per tahun. Tingginya kesenjangan itu terlihat pada sekitar 60 persen dari penduduk Indonesia yang pendapatannya di bawah 3.000 dollar AS. “Kesenjangan yang dihadapi luar biasa karena rata-rata pendapatan per kapita 3.000 dollar AS per tahun, ternyata 60 penduduk pengeluaran mereka 2 dollar per hari,” kata Pengamat Ekonomi dari Econit Hendri Saparini, di Jakarta, Selasa (15/3).
Sekitar 60 persen penduduk didominasi oleh batas bawah yang potensinya sebesar 58,1 persen, sedangkan sisanya mendekati level 3.000 dollar AS. Jadi, masyarakat dengan penghasilan di bawah 2.000 dollar AS per tahun masih mendominasi. “Kalau itu terjadi berarti kesenjangan sangat luar biasa, bisa jadi dari persentase 60 persen ini sebanyak 58,1 persen itu di bawah sangat miskin, jadi jangan hanya dilihat secara persentase,”katanya. Dia mengatakan, pendapatan penduduk Indonesia relatif lebih kecil dibandingkan China, padahal upah buruh yang diberikan negara tirai bambu tersebut termasuk sangat rendah.
Oleh karena itu, perlu kebijakan yang memihak kepada masyarakat menengah ke bawah dalam meningkatkan pendapatan dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Perubahan Kebijakan Berbagai kebijakan yang diterapkan pemerintah masih cenderung memihak kepada pemilik modal. Jika perubahan kebijakan tidak dilakukan, maka akan berdampak signifikan kepada masyarakat kecil dan pendapatan per kapitanya cenderung tidak berubah, bahkan semakin mengecil.
“Kalau perubahan kebijakan tidak dilakukan, maka yang di atas akan semakin menggelembung dan yang bawah tetap mengecil. Jadi mengganti kebijakan ekonomi sehingga berpihak kepada mereka yang tidak punya modal,”katanya. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan mengatakan, pada 2010 mayoritas penduduk Indonesia masih memiliki penghasilan di bawah pendapatan per kapita. Pasalnya, jumlah pendapatan sebesar 3.000 dollar AS hanya diwakili 40 persen penghasilan penduduk Indonesia.
“Saat ini, baru 40 persen masyarakat yang mampu memiliki penghasilan di atas pendapatan per kapita,”katanya. Menurutnya, data yang merujuk hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukannya pada tahun lalu, perekonomian di Indonesia tumbuh sebesar 6,1 persen, lebih tinggi dibanding 2009 yang hanya tumbuh 4,5 persen. “Pertumbuhan itu menyebabkan pendapatan per kapita masyarakat meningkat, dari 23,9 juta rupiah menjadi 27 juta rupiah.
Meski demikian, ternyata mayoritas masyarakat masih memiliki penghasilan di bawah 27 juta rupiah dalam setahun,” katanya. Ia mengakui, perekonomian Indonesia belum tumbuh merata. Hal tersebut terlihat dari pertumbuhan ekonomi yang masih dominan di sekitar pulau Jawa dan Sumatra, sehingga kesenjangan perekonomian bisa dihitung menggunakan indeks.
Sekitar 60 persen penduduk didominasi oleh batas bawah yang potensinya sebesar 58,1 persen, sedangkan sisanya mendekati level 3.000 dollar AS. Jadi, masyarakat dengan penghasilan di bawah 2.000 dollar AS per tahun masih mendominasi. “Kalau itu terjadi berarti kesenjangan sangat luar biasa, bisa jadi dari persentase 60 persen ini sebanyak 58,1 persen itu di bawah sangat miskin, jadi jangan hanya dilihat secara persentase,”katanya. Dia mengatakan, pendapatan penduduk Indonesia relatif lebih kecil dibandingkan China, padahal upah buruh yang diberikan negara tirai bambu tersebut termasuk sangat rendah.
Oleh karena itu, perlu kebijakan yang memihak kepada masyarakat menengah ke bawah dalam meningkatkan pendapatan dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Perubahan Kebijakan Berbagai kebijakan yang diterapkan pemerintah masih cenderung memihak kepada pemilik modal. Jika perubahan kebijakan tidak dilakukan, maka akan berdampak signifikan kepada masyarakat kecil dan pendapatan per kapitanya cenderung tidak berubah, bahkan semakin mengecil.
“Kalau perubahan kebijakan tidak dilakukan, maka yang di atas akan semakin menggelembung dan yang bawah tetap mengecil. Jadi mengganti kebijakan ekonomi sehingga berpihak kepada mereka yang tidak punya modal,”katanya. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan mengatakan, pada 2010 mayoritas penduduk Indonesia masih memiliki penghasilan di bawah pendapatan per kapita. Pasalnya, jumlah pendapatan sebesar 3.000 dollar AS hanya diwakili 40 persen penghasilan penduduk Indonesia.
“Saat ini, baru 40 persen masyarakat yang mampu memiliki penghasilan di atas pendapatan per kapita,”katanya. Menurutnya, data yang merujuk hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukannya pada tahun lalu, perekonomian di Indonesia tumbuh sebesar 6,1 persen, lebih tinggi dibanding 2009 yang hanya tumbuh 4,5 persen. “Pertumbuhan itu menyebabkan pendapatan per kapita masyarakat meningkat, dari 23,9 juta rupiah menjadi 27 juta rupiah.
Meski demikian, ternyata mayoritas masyarakat masih memiliki penghasilan di bawah 27 juta rupiah dalam setahun,” katanya. Ia mengakui, perekonomian Indonesia belum tumbuh merata. Hal tersebut terlihat dari pertumbuhan ekonomi yang masih dominan di sekitar pulau Jawa dan Sumatra, sehingga kesenjangan perekonomian bisa dihitung menggunakan indeks.
Kesimpulan
Dari kesimpulan di atas dapat di simpulkan bahwa Upaya pengentasan kemiskinan di daerah akan dapat terwujud bila terbangunnya serta melembaganya jaringan komunikasi, koordinasi dan kerjasama dari tiga pilar yang ada di daerah, yaitu Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan kelompok peduli. Memantapkan kembali program-program pembangunan nasional berbasis masyarakat miskin, diikuti dengan kepedulian daerah dalam mengawal dan mengawasi implementasinya di lapangan agar benarbenar tepat sasaran. Pemberdayaan ekonomi rakyatberbasis spasial, merupakan solusi yang dianggap tepat dalam mengurangi disparitas pendapatan dan tingkat kemiskinan di Indonesia.
Daftar pustaka
Tambunan, Tulus (2003), “Perekonomian Indonesia”, Ghalia Indonesia, Jakarta